Tuesday, August 4, 2009
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh.
Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW.
Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi.
Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.”
Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Alloh SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Alloh SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H.
Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengansempurna.
Di samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan Al-Mukhtasor karya Imam Kholil, Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah karya Imam al-Akhdhari dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah At-Tijani.
Tahun 1166 H. kedua orang tuanya meninggal pada hari yang bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad berumur 16 tahun.
Dalam usia yang relatif muda, Syeikh telah menunjukkan kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendididikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar, menulis dan memberi fatwa.
Pada tahun 1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam salah satu fatwanya Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash syara’ hanya diterangkan kewajiban tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh secara penuh, lahir dan batin. Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan apa pun untuknya dari hawa nafsu dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan hal tersebut dan mengharamkan lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban mencari guru selain guru ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang dituntut untuk dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari guru ini. Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru lainnya setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan tetapi wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.
Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah pencarian guru. Karena sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan pencarian terhadap guru tarbiyah dianggap maksiat.
Dari sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia sufi tidak dikarenakan mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman sekarang. Mereka memasuki sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan berdasarkan pengetahuan tentang sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka memasuki jalan tidak lebih karena anggapan sebagian orang yang menilainya dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh memasuki dunia sufi berdasarkan pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang dikehendakinya dan memantapkannya. Sebagai bukti seorang murid (pencari kebenaran) yang shadiq. Murid yang mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada dalam dirinya, berupa kelemahan, kemalasan, menyukai kenikmatan, dan meninggalkan amal shaleh. Di mana jika keadaan itu terus ada dalam dirinya akan menyebabkannya tidak dapat memperoleh puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya untuk segera kembali dengan tekad, semangat dan kemantapan; mencari seorang yang dapat membuka belenggu syahwatnya dan menunjukkannya kepada jalan untuk sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Ini adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran sejati). Adapun lainnya hanya murid thalib atau pencari biasa. Terkadang dia dapat mendapatkan hasil. Terkadang tidak mendapatkan apa-apa.”
Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang yang awalnya kokoh, maka akhirnya akan sempurna.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.
Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya.
Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya.
Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185 H.
Wali Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas. Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan kutub. Maulana At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepadaAhmad bin Ali Ash-Sharsori, salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah.Ciri pokok tarekat ini adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.
Dalam pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid darinya. Bahkan dalam ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh untuk memberikan talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi Syeikh menolak hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di sini Syeikh menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. At-Thayib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H.
Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan Sayid Abdulloh bin Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di Fas. Thariqatnya bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:
“Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.
Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.
Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. KemudianThariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan.
Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.”
Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya:
“Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di Tazah.
Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Syeikh memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi, Al-Jazair Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrohman Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.
Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan ke-shidiq-an ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya. Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang menghalangai antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.
Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad. Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga masyhur dengan nama Thariqat Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung dari Rasululloh SAW dalam keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur.
Memang sebelum mendapatkan ijazah langsung dari Rasululloh SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur Thariqat dari beberapa Syeikh lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi Abdillah bin Abdur Rahman Al-Azhari.
Pada usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi berjumpa dengan Rasululloh SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat itu Rasululloh SAW selalu mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Keadaan inilah yang disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai yang menghalangi antara seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu membimbing Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh untuk meninggalkan sandaran kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah Rasululloh SAW secara langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan menyandarkannya kepada Rasululloh SAW.
Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan) dzikir/wirid berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali. Pengajaran dzikir ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H. dengan tambahan Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh Rasululloh SAW untuk disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia dan jin.
Ketika Syeikh Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan Muharam, tahun 1214 H Syeikh Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini dilakukan di Padang Arafah, Makah Al-Mukaramah.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H.
Jawahirul Ma’ani, Sayyid Ali Harazim bin Arabi. Keterangan lain dari Sayyid Zubair, cucu kelima Syekh Ahmad.
Mizaburrhmah, Sayyid Ubaidah bin Muhammad As-Shighir, Hal.: 7, As-Syubiyah, Beirut, Lebanon.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 107, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakron, Maroko.
Ibid, Hal.: 108.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 112, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakron, Maroko.
Ibid.
Ibid, Hal.: 111.
Ibid.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Yang dimaksud Shahra adalah negerinya Syekh At-Tijani. Sebagimana keterangan dalam Bughyatul Mustafid, Hal.: 118.
Bughyatul Mustafid, Hal.: 120.
Ibid.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 114, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakran, Maroko
Ibid, Hal.: 117.
Ibid.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 115-116, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakran, Maroko.
Ibid, hal.: 116.
Ibid, Hal.: 115. Jawahirul Ma’ani lebih memperjelas kewafatannya pada hari-hari terakhir Rabiuts Tsani. Sehingga memungkinkan bahwa Maulana At-Thayib wafat pada hari Ahad terakhir bulan dan tahun tersebut.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 38, Khadim Thariqatut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Ibid, I: 38.
Ibid. keterangan yang sama dapat dilihat di Bughyatul Mustafid, Hal.: 118.
Bughyatul Mustafid, Hal.: 117-118.
Jawhirul Ma’ani, I: 38.
Ibid.
Sayyidul Auliya Syekh Ahmad At-Tijani, H. A. Fauzan fathulloh, Hal.: 60-64, Manuskrip.
Mizaburrahmah, Sayyid Ubaidah bin Muhammad As-Shighir, Hal.: 7, As-Syubiyah, Beirut, Lebanon.
Kreditasi
---------
http://ppalumm.wordpress.com/2009/02/27/258/
Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh.
Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW.
Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi.
Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.”
Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Alloh SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Alloh SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H.
Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengansempurna.
Di samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan Al-Mukhtasor karya Imam Kholil, Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah karya Imam al-Akhdhari dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah At-Tijani.
Tahun 1166 H. kedua orang tuanya meninggal pada hari yang bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad berumur 16 tahun.
Dalam usia yang relatif muda, Syeikh telah menunjukkan kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendididikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar, menulis dan memberi fatwa.
Pada tahun 1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam salah satu fatwanya Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash syara’ hanya diterangkan kewajiban tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh secara penuh, lahir dan batin. Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan apa pun untuknya dari hawa nafsu dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan hal tersebut dan mengharamkan lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban mencari guru selain guru ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang dituntut untuk dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari guru ini. Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru lainnya setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan tetapi wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.
Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah pencarian guru. Karena sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan pencarian terhadap guru tarbiyah dianggap maksiat.
Dari sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia sufi tidak dikarenakan mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman sekarang. Mereka memasuki sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan berdasarkan pengetahuan tentang sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka memasuki jalan tidak lebih karena anggapan sebagian orang yang menilainya dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh memasuki dunia sufi berdasarkan pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang dikehendakinya dan memantapkannya. Sebagai bukti seorang murid (pencari kebenaran) yang shadiq. Murid yang mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada dalam dirinya, berupa kelemahan, kemalasan, menyukai kenikmatan, dan meninggalkan amal shaleh. Di mana jika keadaan itu terus ada dalam dirinya akan menyebabkannya tidak dapat memperoleh puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya untuk segera kembali dengan tekad, semangat dan kemantapan; mencari seorang yang dapat membuka belenggu syahwatnya dan menunjukkannya kepada jalan untuk sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Ini adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran sejati). Adapun lainnya hanya murid thalib atau pencari biasa. Terkadang dia dapat mendapatkan hasil. Terkadang tidak mendapatkan apa-apa.”
Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang yang awalnya kokoh, maka akhirnya akan sempurna.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.
Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya.
Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya.
Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185 H.
Wali Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas. Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan kutub. Maulana At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepadaAhmad bin Ali Ash-Sharsori, salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah.Ciri pokok tarekat ini adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.
Dalam pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid darinya. Bahkan dalam ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh untuk memberikan talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi Syeikh menolak hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di sini Syeikh menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. At-Thayib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H.
Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan Sayid Abdulloh bin Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di Fas. Thariqatnya bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:
“Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.
Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.
Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. KemudianThariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan.
Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.”
Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya:
“Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di Tazah.
Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Syeikh memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi, Al-Jazair Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrohman Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.
Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan ke-shidiq-an ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya. Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang menghalangai antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.
Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad. Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga masyhur dengan nama Thariqat Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung dari Rasululloh SAW dalam keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur.
Memang sebelum mendapatkan ijazah langsung dari Rasululloh SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur Thariqat dari beberapa Syeikh lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi Abdillah bin Abdur Rahman Al-Azhari.
Pada usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi berjumpa dengan Rasululloh SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat itu Rasululloh SAW selalu mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Keadaan inilah yang disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai yang menghalangi antara seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu membimbing Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh untuk meninggalkan sandaran kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah Rasululloh SAW secara langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan menyandarkannya kepada Rasululloh SAW.
Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan) dzikir/wirid berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali. Pengajaran dzikir ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H. dengan tambahan Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh Rasululloh SAW untuk disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia dan jin.
Ketika Syeikh Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan Muharam, tahun 1214 H Syeikh Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini dilakukan di Padang Arafah, Makah Al-Mukaramah.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H.
Jawahirul Ma’ani, Sayyid Ali Harazim bin Arabi. Keterangan lain dari Sayyid Zubair, cucu kelima Syekh Ahmad.
Mizaburrhmah, Sayyid Ubaidah bin Muhammad As-Shighir, Hal.: 7, As-Syubiyah, Beirut, Lebanon.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 107, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakron, Maroko.
Ibid, Hal.: 108.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 112, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakron, Maroko.
Ibid.
Ibid, Hal.: 111.
Ibid.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Yang dimaksud Shahra adalah negerinya Syekh At-Tijani. Sebagimana keterangan dalam Bughyatul Mustafid, Hal.: 118.
Bughyatul Mustafid, Hal.: 120.
Ibid.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 114, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakran, Maroko
Ibid, Hal.: 117.
Ibid.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 29, Khodim Thorikotut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Bughyatul Mustafid, Sayid Muhammad Al-Arobi, Hal.: 115-116, Maktabah Al-Hajj Abdus Salam bin Muhammad bin Syakran, Maroko.
Ibid, hal.: 116.
Ibid, Hal.: 115. Jawahirul Ma’ani lebih memperjelas kewafatannya pada hari-hari terakhir Rabiuts Tsani. Sehingga memungkinkan bahwa Maulana At-Thayib wafat pada hari Ahad terakhir bulan dan tahun tersebut.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim, I: 38, Khadim Thariqatut Tijaniyah, Th. 1405 H. / 1984.
Ibid, I: 38.
Ibid. keterangan yang sama dapat dilihat di Bughyatul Mustafid, Hal.: 118.
Bughyatul Mustafid, Hal.: 117-118.
Jawhirul Ma’ani, I: 38.
Ibid.
Sayyidul Auliya Syekh Ahmad At-Tijani, H. A. Fauzan fathulloh, Hal.: 60-64, Manuskrip.
Mizaburrahmah, Sayyid Ubaidah bin Muhammad As-Shighir, Hal.: 7, As-Syubiyah, Beirut, Lebanon.
Kreditasi
---------
http://ppalumm.wordpress.com/2009/02/27/258/